Kaum muslimin yang dirahmati Allah, aqidah (keimanan) merupakan ilmu terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim. Mengapa demikian? Karena aqidah merupakan pondasi tegaknya amal ibadah dan syarat diterimanya amalan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)
Ibadah kepada Allah tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan tauhid. Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai amal-amal orang musyrik dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tampakkan segala amal yang dahulu mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23)
Keimanan yang benar adalah keimanan yang tidak dicampuri dengan syirik dan kekafiran. Itulah sebab pokok untuk meraih keamanan dan petunjuk dari Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-An’am: 82)
Syirik adalah sebuah kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta’ala mengisahkan nasihat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Karena hanya Allah yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah semestinya kita hanya beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari segala sesembahan selain-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 21)
Aqidah inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah fiqih akbar. Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi mengatakan, bahwa kebutuhan hamba kepada ilmu ini adalah di atas kebutuhan mereka terhadap perkara-perkara yang lain (lihat Syarh ath-Thahawiyah, hal. 69)
Oleh sebab itu pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, maka beliau berpesan, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari)
Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid dan betapa besar kebutuhan umat manusia terhadapnya. Sehingga, tidaklah mengherankan jika seluruh dakwah para rasul tegak di atas misi yang sama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul -yang berseru- : Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36)
Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai seruan yang mengatasnamakan kebangkitan Islam atau melanjutkan kembali kehidupan Islam akan tetapi tidak dibarengi dengan tarbiyah tauhid dengan benar adalah omong kosong belaka! Bukankah tidak jarang kita dengar sayup-sayup ucapan mereka, “Dakwah tauhid memecah-belah umat” [?!] “Dakwah tauhid mencerai-beraikan barisan” [?!] “Dakwah tauhid sudah ketinggalan jaman” [?!] “Dakwah tauhid membuat orang lari” [?!] “Dakwah tauhid tidak digemari orang” [?!]
Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan! Akankah kita katakan dakwah para rasul ini dakwah yang memecah-belah umat, mencerai-beraikan barisan mereka, sudah ketinggalan jaman, membuat orang lari, dan -lebih parah lagi jika dikatakan bahwa dakwah tauhid mesti disingkirkan gara-gara- tidak digemari orang?! Allahul musta’an.
Bagaimana mungkin kita bisa sepakat membuat orang untuk bersama-sama memerangi korupsi, riba dan zina sementara kita lalai dari mengajak mereka untuk memberantas syirik dan pemujaan berhala?! Ataukah kita telah menganggap berhala masa kini sudah tiada? Karena manusia sudah berpindah ke masa kecanggihan teknologi sehingga jauh dari klenik dan ritual-ritual kemusyrikan? Benarkah demikian?!
Bagaimana mungkin kita bersemangat tatkala menghasung umat untuk mencabut korupsi dan riba sampai akar-akarnya namun di saat yang sama pemurnian aqidah seolah menjadi agenda dan tema pembahasan yang terlupa?! Padahal, Allah telah berfirman tentang besarnya dosa yang satu ini dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48)
Dan lebih ajaib lagi apabila kita mengangankan tegaknya sebuah daulah Islam di atas negeri yang syirik dan bid’ah merajalela bak jamur di musim hujan bahkan seolah telah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan mereka?!
Tegakkan Islam di Hatimu
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)
Sebuah kalimat yang indah dan penuh dengan pelajaran! Dari sini, kita bisa memetik hikmah yang dalam, bahwa perubahan suatu bangsa harus dimulai dari perubahan individu-individu yang ada di dalamnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11)
Umat Islam tidak akan berjaya jika mereka tidak menghiasi dirinya dengan iman dan amal salih serta menegakkan dakwah dan kesabaran di dalam hidupnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3)
Dakwah Islam bukanlah dakwah yang tegak di atas semangat belaka atau slogan tanpa makna, akan tetapi ia tegak di atas ilmu dan tauhid yang tertancap kuat di dalam dada. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku mengajak [kalian] kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan aku sama sekali bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Perjuangan Islam bukanlah perjuangan yang menghalalkan segala cara. Sebab tujuan yang baik harus dicapai dengan cara yang benar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)
Tidak mungkin memperbaiki umat serta menyelamatkannya dari kehancuran kecuali dengan membenahi aqidah dan ibadah mereka kepada Allah ta’ala. Oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berharap berjumpa dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110)
Inilah jalan perubahan yang ditempuh oleh orang-orang yang beriman. Jalan yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya. Jalan yang akan mengantarkan ke surga dan menyelamatkan manusia dari pedihnya azab neraka.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih sendiri, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam. Sedangkan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Inilah jalan orang-orang yang menjunjung tinggi sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas semua pendapat dan ucapan manusia. Sebab mereka meyakini dengan sepenuhnya, bahwa ketundukan kepada Rasul adalah bukti ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80)
Inilah kunci utama keberhasilan, yaitu dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta menjunjung tinggi hal itu di atas segala-galanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah mendapatkan kemenangan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71)
Sementara ketaatan yang hakiki bukan terletak pada gerakan anggota badan atau ucapan di lisan saja. Lebih daripada itu, ketaatan yang sejati adalah yang berakar dari dalam dada. Ketaatan yang tumbuh dari keikhlasan niat, kelurusan aqidah, dan berada di dalam koridor syari’at. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya, ataupun darah-darahnya (kurban). Akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari [hati] kalian.” (QS. al-Hajj: 37). Wallahu a’lam bish shawaab.